DEMOKRASI YANG TERBAJAK OLIGARKI

 

Catatan Akhir/Awal Tahun

Oleh Intsiawati Ayus

 

 

Sepanjang Tahun 2011, demokrasi di Indonesia diterpa krisis serius. Bertubi-tubi kasus memalukan yang terungkap di DPR telah menciptakan kekecewaan yang mendalam bahkan mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif tersebut. Apalagi lembaga negara ini sebelumnya tampak lebih getol mengurusi hak-haknya sendiri ketimbang secara serius menuntaskan masalah yang mengemukan dan teriakan-teriakan rakyat di depan pagar gedung parlemen.

Berapa banyak kasus-kasus kontroversial yang merugikan bangsa dan negara baik secara moril maupun materil akhirnya hanya berujung pada transaksi politik belaka. Lahirnya keputusan dan pernyataan elit yang bertentangan dengan kehendak rakyat meneguhkan sinyalemen adanya oligarki parpol yang jelas-jelas membajak demokrasi kita. Parpol-parpol di parlemen seraya memproduksi masalah kini terjebak politik transaksi untuk saling mencari kesalahan sekaligus saling memproteksi kesalahan lawan guna menjaga kelangsungan eksistensi elit politik dalam kancah kekuasaan nasional.

Jika kita sekali lagi kritis menelisik sistem parlemen negeri tercinta ini maka senyatanya asal-muasal segala masalah itu berawal dari anomali dalam sistem pembagian kekuasaan legislatif. Realitas empiris menunjukkan bahwa saat ini telah terjadi kelumpuhan sistem checks & balances yang akut dalam sistem parlemen. Desain dan proses politik Indonesia saat ini secara formal masih didominasi secara penuh oleh mereka yang duduk di kursi DPR. Padahal, demokrasi mensyaratkan adanya proses ‘saling imbang saling kontrol’ sehingga daulat rakyat-lah yang dimenangkan karena di sanalah sumber legitimasi tersebut.

Konstitusi negara saat ini cenderung inkonsisten dan tidak melembagakan adanya prinsip saling mengawasi secara seimbang antar cabang kekuasaan. Pembentukan perundang-undangan juga cenderung meneguhkan  monopoli kewenangan DPR di parlemen. Tak heran, jika kemudian terbuka peluang terhadap beragam bentuk abuse of power dan suburnya praktek mafia.

Krisis kepercayaan publik yang terjadi saat ini merupakan efek dari sistem parlemen yang berat sebelah. Prinsip checks and balances dinafikan sehingga salah satu kamar parlemen nasional menjadi monopolistik dalam kebijakan. Alhasil, kamar tersebut kemudian menjadi  sarang masalah yang meruntuhkan stabilitas bernegara dan perusak bagi tatanan yang telah dibangunnya sendiri.


Berbagi Kewenangan Parlemen
         Dengan demikian, jelaslah bahwa dorongan untuk mendudukkan para wakil daerah (DPD) pada porsi selayaknya bukanlah untuk kepentingan sepihak tapi merupakan bagian dari rasionalitas demokr
asi. Di samping prinsip persamaan hak dan kesetaraan, fakta politik telah menunjukkan bahwa sistem parlemen dua kamar yang seimbang dibutuhkan guna menciptakan fondasi bernegara yang lebih kukuh serta pemerintahan yang lebih terjaga integritasnya.

Di sisi lain, upaya penyeimbangan parlemen juga terkait penguatan lembaga legislatif guna mendukung kinerja yang lebih efektif. Sebagaimana diketahui kinerja legislasi DPR sejauh ini begitu amat rendahnya. Target rancangan UU yang tercapai masih jauh dari program legislasi yang dicanangkan. Koordinator Gerakan Indonesia Bersih, Adhie Massardi pernah melontarkan kritik bahwa anggota DPR mulai dari 2004 sampai sekarang belum banyak menghasilkan sesuatu untuk Indonesia. Adhie bahkan menantang untuk menunjukkan UU mana yang benar-benar berpihak pada rakyat.

Sejalan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin kompleks di masa depan, keberadaan badan legislatif yang berfungsi lebih efektif dan maksimal merupakan kebutuhan yang urgen. Wakil rakyat (DPR) dan wakil daerah (DPD) sudah saatnya membangun kebersamaan. Dengan adanya sharing kewenangan, DPD bisa bersinergi dengan DPR secara signifikan dalam meningkatkan produktifitas Undang-Undang di parlemen terutama terkait legislasi yang berimplikasi langsung terhadap hubungan pusat-daerah, persoalan otonomi daerah, pengawasan, serta anggaran daerah.

 

Peran Nyata Wakil Daerah

Lemahnya upaya dan kinerja DPR dalam mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan lokal dalam berbagai kebijakan nasional sepanjang tahun 2011 juga turut menciptakan kekecewaan yang berkepanjangan dari daerah-daerah. Sementara itu, Meski terpenjara batas kewenangan, kehadiran DPD selama ini telah mengisi berbagai peran yang dibutuhkan daerah serta telah memberikan banyak makna bagi keberhasilan desentralisasi dan otonomi daerah. DPD selama ini senantiasa berkomitmen dalam mengakomodasi kepentingan-kepentingan daerah dalam proses penyusunan legislasi.

Upaya-upaya mediasi konflik lokal, penyerapan dan dukungan aspirasi, serta dalam membuka ruang akses daerah terhadap pengambil kebijakan di pusat adalah di antara peran-peran nyata yang dijalankan DPD selama ini. DPD juga telah berhasil memperjelas kedudukannya sebagai representasi wilayah melalui kemitraan kerja yang harmonis dengan seluruh entitas daerah.

Sebagai pengawal wilayah atau teritorial, DPD RI selama ini dituntut untuk lebih menguasai persoalan yang dihadapi daerah. DPD memiliki tugas dan kewajiban yang relatif besar untuk mendorong kemajuan daerah dan membantu realisasi desentralisasi dan otonomi daerah. Oleh karena itu ke depan, perlu dirumuskan adanya rumusan pelaksanaan fungsi anggaran yang melibatkan DPD.

Urusan fiskal nasional dan fiskal daerah selayaknya dilakukan split pembahasan; fiskal nasional adalah ranah DPR sedangkan fiskal daerah selayaknya menjadi ranah DPD. Dengan begitu, DPD yang juga terlibat dalam Musrembang dapat secara langsung berperan mewakili daerah dalam perdebatan pembahasan anggaran nasional mengenai mana anggaran yang akan dibiayai melalui APBN atau APBD. DPD juga menjadi pengawas langsung terhadap fungsi alokasi dan distribusi terhadap Dana Transfer di daerah sehingga bisa mencegah dan meminimalisir  terjadinya mafia anggaran dan korupsi di daerah.

Tak syak lagi, sejak kelahirannya, DPD memiliki relevansi dan urgensi yang signifikan dalam mengawal keberhasilan pelaksanaan tata kelola pemerintahan khususnya terkait desentralisasi dan otonomi daerah. Frase terkenal Tip O’Neill ‘all politics is local’ merangkum prinsip bahwa keberhasilan para politisi terkait langsung dengan kemampuannya dalam menyelesaikan masalah-masalah, khususnya masalah lokal bukan justru mencipta beragam masalah.

Di tahun 2012 kita berharap berbagai upaya perbaikan regulasi politik bisa selesai, baik itu terkait paket UU perpolitikan ataupun penyempurnaan sistem ketatanegaraan  melalui amandemen UUD 1945. Tentu itu semua harus diiringi penegakan hukum yang semakin tegas, serta semangat untuk saling menumbuhkan kesadaran moral di antara  wakil rakyat. Karena jika tidak, semakin banyak wakil rakyat yang &
nbsp;justru menjadi bagian yang korup membuat demokrasi di Indonesia kelak semakin dipertanyakan kembali kemanfaatannya.
Wallaahu a’lam.

*Penulis adalah Wakil Ketua Komite II DPD RI



 

 

Leave a comment